M A W A R I
S I
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
OLEH:
Ø Aziz
Nurcah Sakti
Ø Defrian
Suci Nugraha
Ø Dinda
Amelia
Ø Mutia
Anggi Pratiwi
Ø Putri
Anggraini
SMA Negeri
1 Percut Sei Tuan
Tahun
Ajaran 2017 / 2018
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT
yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur
atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Agama tentang Mawarisi.
Makalah Agama ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah Agama ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah Agama tentang Mawarisi ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Sampali,
Januari 2018
Kelompok
IV
Daftar
Isi
Kata
Pengantar.............................................................................................................. i
Daftar
Isi........................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
a. Latar
Belakang............................................................................................................. 1
b. Rumus
Masalah............................................................................................................ 2
c. Tujuan
Penulisan.......................................................................................................... 2
BAB
II Pembahasan
A. Pengertian
Mawaris atau Kewarisan............................................................................ 3
B. Dasar
– Dasar Hukum Waris........................................................................................ 4
C. Asa
Kewarisan Islam.................................................................................................... 6
D. Ketentuan
Mawaris dalam Islam.................................................................................. 9
E. Menerapkan
Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan...............................................17
F. Manfaar
Hukum Waris Islam....................................................................................... 18
BAB
III Penutup
A. Kesimpulan................................................................................................................... 19
B. Saran............................................................................................................................. 20
BAB
I Pendahuluan
A. Latar Belakang
“Tidak
ada yang hidup kekal di dunia ini” Itulah ungkapan yang menyatakan bahwa segala
mahluk yang hidup pastinya akan merasakan mati, kecuali ALLAH SWT. Dialah yang
maha kuasa serta maha agung lagi maha besar.
Jika
kita meninggal dunia, tidak ada yang kita bawa kecuali amalan yang kita lakukan
di dunia. Seluruh harta, istri, anak, dan hal lainnya akan kita tinggalkan.
Harta yang manusia tinggalkan dalam tanda kutip meninggal dunia disebut
warisan, arti harta di sini bukan hanya berarti harta berbentuk uang ataupun
emas dan semacamnya, tapi juga dalam artian yang lain. Ajaran Islam tidak hanya
mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt.. Islam juga mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah kewarisan. Nabi
Muhammad saw. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliyah
yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak
adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan,
berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.
Syariat
islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum
keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Dengan
demikian persoalan warisan menurut syariat islam didasarkan atas “kekerabatan”,
sesuai keterangan yang telah terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW,
serta pembagian yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan yang masuk
dalam kategori bisa menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak kecil.
Dengan demikian, islam telah menghapus tradisi atau system waris orang-orang
Arab Jahiliyah yang mengharamkan penerimaan warisan kepada kaum perempuan dan
anak. Disamping Karena kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai
salah satu sebab terjadinya pewarisan, dengan demikian suami-istri dapat saling
mewarisi.
Masih
banyak orang yang tidak mengerti apa itu mawaris, apa sajakah yang menjadi
dasar dari adanya mawaris, serta bagaimanakah mawaris dapat di bagikan dengan
benar dan sesuai dengan ajaran islam, satu-satunya agama yang benar dan
memiliki kitab yang begitu luas isinya dan maknanya.
Sebagai
umat islam sudah sepatunya kita mengerti tentang mawaris. Dan untuk itu, kami
dari kelompok IV akan menjelaskan tentang apa itu Mawaris.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa
masalah tersebut antara lain:
a.
Apakah Pengertian Mawaris atau Kewarisan
itu?
b.
Apa sajakah dasar hukum mawaris itu?
c.
Apa sajakah asas mawaris dalam islam?
d.
Apa ketentuan mawaris di dalam islam?
e.
Bagaimanakah Menerapkan Syari’ah Islam
dalam Pembagian Warisan?
f.
Apa manfaat dari hukum waris islam itu?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk membahas mengenai:
a.
Definisi Mawaris atau kewarisan.
b.
Dasar hukum mawaris atau kewarisan.
c.
Asas mawaris dalam islam.
d.
Ketentuan mawaris dalam islam.
e.
Cara menerapkan syari’ah islam dalam
pembagian warisan.
f.
Manfaat dari hukum waris islam
BAB
II Pembahasan
A. Pengertian Mawaris
atau Kewarisan.
Ilmu
mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah di
tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli
mawariss adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang
ahli waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu
mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara
yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip
dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu
mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan
orang yang meninggal dunia.
Mawaris
merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari
seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan
demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:
1)
Orang mati, yang disebut pewaris atau
yang mewariskan
2)
Harta milik orang yang mati atau orang
yang mati meninggalkan harta waris,
3)
Satu atau beberapa orang hidup sebagai
keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris.
Ilmu
mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu
yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya
yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai
ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al-muqaddarah).
Warisan dalam bahasa
Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata
wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Warisan berdasarkan
pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Qur’an yang
menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16:
“Dan Sulaiman telah
mewarisi Daud.” Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya:
“Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
(Q.S. an-Naml : 16)
Sedangkan
menurut Wirjono Prodjodikoro warisan sebagai berikut: soal apakah dari
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup.
Adapun
menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu
berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi
lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang
meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum
dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu mawaris biasa disebut
dengan ilmu faraldh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang
berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan
pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.
Para
ulama berperan dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan
mawaris. Adapun hukum mempelajari ilmu mawariss adalah Wajib(fardhu kifayah),
yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang
mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak
ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.
B. Dasar-Dasar Hukum
Waris.
Sumber
hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur’an, kemudian As-Sunnah/hadis
dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para
mujtahid.
1. Al-Qur’an
Dalam
Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan
al-Qur’an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan
tentang ketentuan pembagian harta warisan ini.
a. Surat an-Nisa’ ayat
7 :
“Bagi
laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(An-Nisa’ : 7).
Menurut
ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta
yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi
yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki
yang dewasa saja.
b. Surat al-Ahzab ayat
6 :
“Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri dan
isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan
darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah
daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah
tertulis dalam kitab (Allah).“
(Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan
ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih berhak
mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak
menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan
melalui hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat
11 dan 12 :
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.
(An-Nisa’ : 11).
Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para isteri meperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara
perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Ayat-ayat
lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa/4:7
sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4,
sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan
sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Dari Ibnu Mas’ud.
Bersabda
Rasulullah saw: “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan
pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku
ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan
terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan
masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang
memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”.
(H.R. Ahmad).
b. Hadis dari Abdullah
bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Ilmu itu ada tiga
macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat,
sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”.
(H.R. Abµ Daµd dan Ibnu
Majah).
Berdasarkan
kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah,
artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka
yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
3. Posisi Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum
kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan
dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan
perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi
perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang
memang tidak diatur dalam fiqih Islam.
C. Asas Kewarisan Islam
Berdasarkan nash baik
al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas kewarisan Islam
sebagai berikut:
1. Asas Ijbari
Dalam
hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang
masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam
berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Hal tersebut
berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli
warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa
bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari
dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal:
a.
Segi peralihan harta
b.
Segi jumlah pembagian
c.
Segi kepada siapa harta itu beralih.
2. Asas Bilateral
Asas
bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan dari
kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki
maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7. Amir
syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan dari
pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak
mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya. Demikian pula dapat dilihat
dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun janda saling mewarisi,
saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya.
Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin
bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau
bapaknya.
3. Asas Individual
Asas
individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan
yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung kepada
masing-masing.
Asas individual dalam
hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’ ayat 11, yaitu:
a.
Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua
kali dari bagian anak perempuan
b.
Bila anak perempuan itu dua orang atau
lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
c.
Dan jika perempuan itu hanya seorang
saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian
secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai
pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan kewajiban, yang
dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan tetapi berlaku pula
ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih disebut
“ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada
seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.
4. Asas keadilan
berimbang
Hak
waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan
tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang
diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang.
Seorang
laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga
suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab
tersebut dari ayat al-Quran:
1) Al-Baqarah 23 :
“Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
(Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) Ath-Thalaq 6 :
“Tempatkanlah mereka
(para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu….”
(Ath-Thalaq : 6).
3) An-Nisa 34 :
Kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu mereka telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka….”
(Q.S. An-Nisa’ : 34).
5. Asas
Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum
kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara kewarisan,
dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal tersebut dapat
dikaji dari penggunaan kata-kata warasa.
Hubungan
kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini belum
terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara universal
bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang
diterapkan bagi warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari
warga negara.
Penggolongan tersebut
adalah:
a) Bagi warga negara
Indonesia asli
Bagi
warga negara Indonesia asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang dalam hal
ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan mereka
masing-masing.
Sifat kekeluargaan
(keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:
a.
Sistem Patrilinial, yaitu ditarik
menurut garis bapak
b.
Sistem Matrilinial, yang ditarik menurut
garis ibu.
c.
Sistem Parental, yang ditarik menurut
garis ibu-bapak.
b) Bagi warga negara
golongan Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi
warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi hukum
kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam.
Berkaitan
dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di masing-masing
daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada kewarisan
Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.
c) Bagi orang-orang
Arab
Pada umumnya seluruh
hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab di Indonesia.
d) Bagi orang Tionghoa
da Eropa
Bagi orang Tionghoa dan
Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang termuat dalam Burgelijk Wetboek
(BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal 1130.
D. Ketentuan Mawaris
dalam Islam
1. Ahli Waris
Jumlah
ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal
dunia ada 25 orang, yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa
disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh
zawil furµd) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut
ahli waris zawil furµd (yang bagiannya telah ditentukan)
2. Syarat-syarat
Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak
mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
a.
Tidak adanya salah satu penghalang dari
penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b.
Kematian orang yang diwarisi, walaupun
kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa
orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c.
Ahli waris hidup pada saat orang yang
memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi,
kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak
menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin
telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-sebab Menerima
Harta Warisan
Seseorang mendapatkan
harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:
a. Nasab (keturunan)
Yakni kerabat yaitu
ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya
beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta
paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. Berfirman:
“Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya…”
(Q.S. an-Nisa’ : 33)
b. Pernikahan
Yaitu akad yang sah
yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum
menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. Berfirman:
“Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak.”
(Q.S. an-Nisa’ : 12)
Suami istri dapat
saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami
menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya
tersebut.
c. Wala’
Yaitu seseorang yang
memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan
meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi
oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
“Wala’ itu milik orang
yang memerdekakannya.”
(H.R.al-Bukhari dan
Muslim).”
4. Sebab-sebab Tidak
Mendapatkan Harta Warisan
Sebab-sebab yang
menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran.
Kerabat
yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir
tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana sabda Nabi
saw. yang artinya:
“Orang kafir tidak
mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.”
(H.R. Bukhari dan
Muslim).
b. Pembunuhan.
Jika
pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi
yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.:
“Pembunuh tidak berhak
mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.”
(H.R. Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan.
Seorang
budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun
sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan
anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi.
Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara
membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam
perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya
sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang
dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw. yang artinya:
“Ia (seorang budak yang
merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan
yang dimilikinya.”
(H.R. Muslim)
d. Perzinahan.
Seorang
anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi
bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis
Rasulullah saw.:
“Anak itu dinisbatkan
kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.”
(H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
e. Li’an.
Anak
suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang
tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil
perzinaan.
5. Ketentuan Pembagian
Harta Harisan
Pembagian
harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir
dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan
dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus
terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan
bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang
si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa’/4:11.
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya”.
(Q.S. an-Nisa’ : 11).
Ahli
waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil
furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya
berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud ).
a. Ahli waris Zawil
furud
Ahli waris yang
memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam
Q.S. an-Nisa’ dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan
sebagaimana di bawah ini.
1) Mendapat bagian ½
a)
Suami, jika istri yang meninggal tidak
ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
b)
Anak perempuan, jika tidak ada saudara
laki-laki atau saudara perempuan.
c)
Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada
cucu laki-laki dari anak laki-laki.
d)
Saudara perempuan sekandung jika
sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau
tidak ada cucu dari anak laki-laki.
e)
Saudara perempuan sebapak sendirian;
tidak ada saudara laki- laki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak
laki-laki.
2) Mendapat ¼
a)
Suami, jika istri yang meninggal tidak
memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b)
Istri, jika suami yang meninggal tidak
memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
3) Mendapat 1/8 Yang
berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki- laki. Jika suami memiliki istri lebih
dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4) Mendapat 2/3
a)
Dua anak perempuan atau lebih, jika
tidak ada anak laki-laki.
b)
Dua cucu perempuan atau lebih dari anak
laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c)
Dua saudara perempuan sekandung atau
lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki
atau perempuan sekandung atau sebapak. d) Dua saudara perempuan sebapak atau
lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak
laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a)
Ibu, jika yang meninggal dunia tidak
memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki,
tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b)
Dua saudara seibu atau lebih, baik
laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak
laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c)
Kakek, jika bersama dua orang saudara
kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara
kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
6) Mendapat 1/6
a)
Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki
anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari
dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
b)
Nenek, jika yang meninggal tidak
memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka
bagiannya dibagi rata.
c)
Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik
orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
d)
Kakek, jika tidak ada bapak.
e)
Saudara seibu, baik laki-laki atau
perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak
laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
f)
Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika
bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada
anak laki-laki paman dari bapak.
g)
Saudara perempuan sebapak, jika ada satu
saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak
ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki
b. Ahli Waris ‘Asabah
Ahli
waris Asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan
bagiannya dalam furµd yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi
mengambil sisa warisan setelah ashabul furµd mengambil bagiannya. Ahli waris
ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau
mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan
apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
“Berikanlah warisan itu
kepada yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan kepada (ahli waris)
laki-laki yang lebih berhak (menerimanya).”
(H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
Bila
salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak
mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furµd, ia menerima
sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul
furµd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut.
Ahli waris ‘asabah
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Asabah binnasab
(hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
a) Asabah bi an-nafsi
Yaitu semua ahli waris
laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan
budak), mereka adalah:
Anak laki-laki
1)
Putra dari anak laki-laki seterusnya ke
bawah
2)
Ayah
3)
Kakek ke atas
4)
Saudara laki-laki sekandung
5)
Saudara laki-laki seayah
6)
Anak saudara laki-laki sekandung dan
seterusnya ke bawah
7)
Anak saudara laki-laki seayah
8)
Paman sekandung
9)
Paman seayah
10)
Anak laki-laki paman sekandung dan
seterusnya ke bawah
11)
Anak laki-laki paman seayah dan
seterusnya ke bawah
Kedua belas ahli waris
di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu:
1)
Arah anak, mencakup seluruh anak
laki-laki keturunan anak laki-laki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2)
Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan
seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan
seterusnya.
3)
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara
kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun
hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena
termasuk ashabul furµd.
4)
Arah paman, mencakup paman kandung dan
paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya. Apabila dalam pembagian
harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, maka
pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang
lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi
an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat
dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan
anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak waris secara ‘ashabah
diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian apapun dari
warisan tersebut. Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak
adalah firman Allah Swt. yaitu:
“Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak.”
(Q.S. an-Nisa’ : 11)
b) Asabah bil ghair
Ahli waris ‘asabah bil ghair ada empat, semuanya dari kelompok wanita.
Dinamakan ‘ashabah bil ghair adalah karena hak ‘asabah keempat wanita itu
bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena
adanya ‘asabah lain (‘asabah bin nafsih). Adapun ahli waris asabah bil ghair
yaitu:
1)
Anak perempuan bisa menjadi ‘asabah bila
bersama dengan saudara laki-lakinya.
2)
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
bisa menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak
laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat
dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3)
Saudara kandung perempuan akan menjadi
‘asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4)
Saudara perempuan seayah akan menjadi
asabah bila bersama dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi seperti
ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian
sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak
waris bagi mereka.
c) Asabah ma’al gair
Orang yang termasuk
‘asabah ma’al gair ada dua, yaitu seperti berikut ini.
1)
Saudara perempuan sekandung satu orang
atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama
putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
2)
Saudara perempuan seayah satu orang atau
lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari
anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya. Adapun landasan
hukum adanya ‘asabah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa
al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki- laki, dan saudara peremuan sekandung atau seayah. Abu Musa menjawab:
“Bagian anak perempuan
separuh dan saudara perempuan separuh.”
(H.R. Al-Bukhari).
2. Asabah bissabab
(karena sebab)
Yang termasuk ‘asabah
bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik
laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di
atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang
harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a)
Jika semua ahli waris laki-laki
berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah,
anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya
adalah anak laki-laki (‘‘asabah).
b)
Jika semua ahli waris perempuan
berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri
1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai
‘asabah.
c)
Jika terkumpul semua ahli waris
laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang
yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian
sebagai berikut:
1) Jika pada ahli waris
tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya
anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki
dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris
tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya
anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki
dua kali lipat anak perempuan.
E. Menerapkan Syari’ah
Islam dalam Pembagian Warisan
Di bawah ini diberikan
contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan syariat Islam.
1. Seorang meninggal
dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya
terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki. Maka hasilnya adalah: Bagian
istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6
dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8)
adalah 24. Maka pembagiannya adalah:
Istri : 1/6x24xRp.
180.000.000 = Rp. 30.000.000,-
Ibu : 1/8x24xRp.
180.000.000 = Rp. 22.500.000,-
Dua anak laki-laki :
24–(4+3)x Rp. 180.000.000 =Rp.127.500.000,-
Masing-masing anak
laki-laki : Rp. 127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-
2. Penghitungan dengan
menggunakan ‘aul. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.
42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung.
Maka hasilnya adalah: Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan
sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan
Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya
adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus
menggunakan ‘aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1),
sehingga masing-masing bagian menjadi:
Suami : 3/7xRp.
42.000.000 = Rp.18.000.000,-
Dua saudara perempuan
sekandung : 4/7xRp. 42.000.000 = Rp.24.000.000,-
3. Penghitungan dengan
menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000.
Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan. Maka hasilnya
adalah: Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal
masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. Maka
bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta
waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad,
yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika
dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah
1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya
adalah:
Ibu : 1/4xRp.
120.000.000,- = 30.000.000,-
Satu anak perempuan :
3/4xRp. 120.000.000,- = 90.000.000,-
F. Manfaat Hukum Waris
Islam
Hukum waris Islam ini
memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa
manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:
1.
Terciptanya ketentraman hidup dan
suasana kekeluargaan yang harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang
harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah orang yang menantang hukum
syariah. Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi
jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing
manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima
dengan ikhlas.
2.
Manciptakan keadilan dan mencegah
konflik pertikaian. Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai
konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah.
Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal
pikiran.
BAB
III Penutup
A. Kesimpulan
Mawaris
merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari
seseorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup.
Beberapa hal yang
dijadikan sebagai dasar hukum mawaris yaitu:
a.
Al-Qur’an
b.
As-Sunnah
c.
Pendapat atau fatwa dari para ulama
Asas Kewarisan Islam
ada tiga, yaitu: Asas Ijbari, Asas Individual, Asas Bilateral, dan Asas
Kewarisan Semata Akibat Kematian.
Aspek-aspek yang harus
diperhatikan dalam penentuan Mawaris dalam Islam yaitu adalah:
a.
Ahli Waris, yaitu Jumlah ahli waris yang
berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia
b.
Syarat-syarat Mendapatkan Warisan, yaitu
seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat
sebagai berikut: Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang
untuk mendapatkan warisan. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian
tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang
yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia. Ahli w aris hidup pada saat
orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita
mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi
tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena
kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
c.
Sebab-sebab Menerima Harta Warisan,
yaitu seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa
sebab sebagai berikut: Nasab (keturunan), Pernikahan, dan Wala’
d.
Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta
Warisan, yaitu adalah sesuatu yang menghalangi ahli waris menerima bagian
warisan: Kekafiran, Pembunuhan, Perbudakan, Perzinahan, dan Li’an.
e.
Ketentuan Pembagian Harta Harisan, yaitu
adalah Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Cara Menerapkan
Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan adalah dengan:
a.
Penghitungan dengan mengguunakan
ashabah, yaitu istri mendapat 1/6, ibu 1/8, dan sisanya untuk anaknya.
b.
Penghitungan dengan menggunakan ‘aul,
aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya.
c.
Penghitungan dengan menggunakan rad,
yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya.
Manfaat
Hukum Waris Islam yaitu adalah Hukum waris Islam memberikan jalan keluar yang
adil untuk semua ahli waris. Dan hal tersebut dapat menciptakan ketentraman
hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. Serta menciptakan keadilan dan
mencegah konflik atau pertikaian antar ahli waris.
B. Saran
Hukum
mempelajari ilmu mawaris adalah Wajib(fardhu kifayah), yaitu apabila di suatu
tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di
anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka
mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa. Oleh karena itu, sudah seharusnya
kita sebagai seorang muslim yang taat kepada ALLAH SWT. Mempelajari atau
mendalami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang bermanfaat, salah satunya adalah
mengenai mawaris. Agar kita dapat menjadi termasuk golongan manusia yang
selamat, baik di dunia maupun di akhirat.