Monday, January 22, 2018

Makalah Mawarisi SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan

M A W A R I S I
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Ø Aziz Nurcah Sakti
Ø Defrian Suci Nugraha
Ø Dinda Amelia
Ø Mutia Anggi Pratiwi
Ø Putri Anggraini

SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan
Tahun Ajaran 2017 / 2018


KATA PENGANTAR

            Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Agama tentang Mawarisi.
            Makalah Agama ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah Agama ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Agama tentang Mawarisi ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Sampali,   Januari 2018

Kelompok IV








Daftar Isi

Kata Pengantar.............................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
a.       Latar Belakang............................................................................................................. 1
b.      Rumus Masalah............................................................................................................ 2
c.       Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan
A.    Pengertian Mawaris atau Kewarisan............................................................................ 3
B.     Dasar – Dasar Hukum Waris........................................................................................ 4
C.     Asa Kewarisan Islam.................................................................................................... 6
D.    Ketentuan Mawaris dalam Islam.................................................................................. 9
E.     Menerapkan Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan...............................................17
F.      Manfaar Hukum Waris Islam....................................................................................... 18
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan................................................................................................................... 19
B.     Saran............................................................................................................................. 20










BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang
“Tidak ada yang hidup kekal di dunia ini” Itulah ungkapan yang menyatakan bahwa segala mahluk yang hidup pastinya akan merasakan mati, kecuali ALLAH SWT. Dialah yang maha kuasa serta maha agung lagi maha besar.
Jika kita meninggal dunia, tidak ada yang kita bawa kecuali amalan yang kita lakukan di dunia. Seluruh harta, istri, anak, dan hal lainnya akan kita tinggalkan. Harta yang manusia tinggalkan dalam tanda kutip meninggal dunia disebut warisan, arti harta di sini bukan hanya berarti harta berbentuk uang ataupun emas dan semacamnya, tapi juga dalam artian yang lain. Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt.. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah kewarisan. Nabi Muhammad saw. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian persoalan warisan menurut syariat islam didasarkan atas “kekerabatan”, sesuai keterangan yang telah terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, serta pembagian yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan yang masuk dalam kategori bisa menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak kecil. Dengan demikian, islam telah menghapus tradisi atau system waris orang-orang Arab Jahiliyah yang mengharamkan penerimaan warisan kepada kaum perempuan dan anak. Disamping Karena kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab terjadinya pewarisan, dengan demikian suami-istri dapat saling mewarisi.
Masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu mawaris, apa sajakah yang menjadi dasar dari adanya mawaris, serta bagaimanakah mawaris dapat di bagikan dengan benar dan sesuai dengan ajaran islam, satu-satunya agama yang benar dan memiliki kitab yang begitu luas isinya dan maknanya.
Sebagai umat islam sudah sepatunya kita mengerti tentang mawaris. Dan untuk itu, kami dari kelompok IV akan menjelaskan tentang apa itu Mawaris.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antara lain:
a.       Apakah Pengertian Mawaris atau Kewarisan itu?
b.      Apa sajakah dasar hukum mawaris itu?
c.       Apa sajakah asas mawaris dalam islam?
d.      Apa ketentuan mawaris di dalam islam?
e.       Bagaimanakah Menerapkan Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan?
f.       Apa manfaat dari hukum waris islam itu?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas mengenai:
a.       Definisi Mawaris atau kewarisan.
b.      Dasar hukum mawaris atau kewarisan.
c.       Asas mawaris dalam islam.
d.      Ketentuan mawaris dalam islam.
e.       Cara menerapkan syari’ah islam dalam pembagian warisan.
f.       Manfaat dari hukum waris islam













BAB II Pembahasan

A. Pengertian Mawaris atau Kewarisan.
Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah di tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli mawariss adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:
1)      Orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan
2)      Harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris,
3)      Satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris.
Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al-muqaddarah).
Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Qur’an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16:
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.” Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
(Q.S. an-Naml : 16)
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro warisan sebagai berikut: soal apakah dari bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraldh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.
Para ulama berperan dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan mawaris. Adapun hukum mempelajari ilmu mawariss adalah Wajib(fardhu kifayah), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.
B. Dasar-Dasar Hukum Waris.
Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur’an, kemudian As-Sunnah/hadis dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
1. Al-Qur’an
Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini.
a. Surat an-Nisa’ ayat 7 :
“Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.


b. Surat al-Ahzab ayat 6 :
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah tertulis dalam kitab (Allah).“
(Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.
(An-Nisa’ : 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para isteri meperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Dari Ibnu Mas’ud.
Bersabda Rasulullah saw: “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”.
(H.R. Ahmad).
b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”.
(H.R. Abµ Daµd dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
3. Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam.
C. Asas Kewarisan Islam
Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas kewarisan Islam sebagai berikut:

1. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal:
a.       Segi peralihan harta
b.      Segi jumlah pembagian
c.       Segi kepada siapa harta itu beralih.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7. Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya. Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau bapaknya.
3. Asas Individual
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’ ayat 11, yaitu:
a.       Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b.      Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
c.       Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan tetapi berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.

4. Asas keadilan berimbang
Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran:
1) Al-Baqarah 23 :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
(Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) Ath-Thalaq 6 :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu….”
(Ath-Thalaq : 6).
3) An-Nisa 34 :
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….”
(Q.S. An-Nisa’ : 34).

5. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara kewarisan, dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal tersebut dapat dikaji dari penggunaan kata-kata warasa.
Hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara universal bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga negara.


Penggolongan tersebut adalah:
a) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan mereka masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:
a.       Sistem Patrilinial, yaitu ditarik menurut garis bapak
b.      Sistem Matrilinial, yang ditarik menurut garis ibu.
c.       Sistem Parental, yang ditarik menurut garis ibu-bapak.
b) Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi hukum kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam.
Berkaitan dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di masing-masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.
c) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab di Indonesia.
d) Bagi orang Tionghoa da Eropa
Bagi orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal 1130.

D. Ketentuan Mawaris dalam Islam
1. Ahli Waris
Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furµd) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris zawil furµd (yang bagiannya telah ditentukan)


2. Syarat-syarat Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
a.       Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b.      Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c.       Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:
a. Nasab (keturunan)
Yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. Berfirman:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya…”
(Q.S. an-Nisa’ : 33)
b. Pernikahan
Yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. Berfirman:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”
(Q.S. an-Nisa’ : 12)
Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c. Wala’
Yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
“Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.”
(H.R.al-Bukhari dan Muslim).”
4. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan
Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya:
“Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.”
(H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Pembunuhan.
Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.:
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.”
(H.R. Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan.
Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw. yang artinya:
“Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
(H.R. Muslim)



d. Perzinahan.
Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullah saw.:
“Anak itu dinisbatkan kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.”
(H.R. al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an.
Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.

5. Ketentuan Pembagian Harta Harisan
Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa’/4:11.
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”.
(Q.S. an-Nisa’ : 11).
Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud ).
a. Ahli waris Zawil furud
Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa’ dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.
1) Mendapat bagian ½
a)      Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
b)      Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
c)      Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
d)     Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
e)      Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara laki- laki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2) Mendapat ¼
a)      Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b)      Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
3) Mendapat 1/8 Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki- laki. Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4) Mendapat 2/3
a)      Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b)      Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c)      Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak. d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a)      Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b)      Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c)      Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.


6) Mendapat 1/6
a)      Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
b)      Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
c)      Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
d)     Kakek, jika tidak ada bapak.
e)      Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
f)       Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
g)      Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki
b. Ahli Waris ‘Asabah
Ahli waris Asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furµd yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furµd mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
“Berikanlah warisan itu kepada yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan kepada (ahli waris) laki-laki yang lebih berhak (menerimanya).”
(H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furµd, ia menerima sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furµd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut.
Ahli waris ‘asabah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Asabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
a) Asabah bi an-nafsi
Yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah:



Anak laki-laki
1)      Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
2)      Ayah
3)      Kakek ke atas
4)      Saudara laki-laki sekandung
5)      Saudara laki-laki seayah
6)      Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
7)      Anak saudara laki-laki seayah
8)      Paman sekandung
9)      Paman seayah
10)  Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah
11)  Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah
Kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu:
1)      Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak laki-laki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2)      Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
3)      Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena termasuk ashabul furµd.
4)      Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya. Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya. Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak waris secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian apapun dari warisan tersebut. Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah firman Allah Swt. yaitu:
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”
(Q.S. an-Nisa’ : 11)
b) Asabah bil ghair Ahli waris ‘asabah bil ghair ada empat, semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan ‘ashabah bil ghair adalah karena hak ‘asabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘asabah lain (‘asabah bin nafsih). Adapun ahli waris asabah bil ghair yaitu:
1)      Anak perempuan bisa menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya.
2)      Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3)      Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4)      Saudara perempuan seayah akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
c) Asabah ma’al gair
Orang yang termasuk ‘asabah ma’al gair ada dua, yaitu seperti berikut ini.
1)      Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
2)      Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya. Adapun landasan hukum adanya ‘asabah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki- laki, dan saudara peremuan sekandung atau seayah. Abu Musa menjawab:
“Bagian anak perempuan separuh dan saudara perempuan separuh.”
(H.R. Al-Bukhari).
2. Asabah bissabab (karena sebab)
Yang termasuk ‘asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a)      Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (‘‘asabah).
b)      Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai ‘asabah.
c)      Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian sebagai berikut:
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.

E. Menerapkan Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan syariat Islam.
1. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki. Maka hasilnya adalah: Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24. Maka pembagiannya adalah:
Istri : 1/6x24xRp. 180.000.000 = Rp. 30.000.000,-
Ibu : 1/8x24xRp. 180.000.000 = Rp. 22.500.000,-
Dua anak laki-laki : 24–(4+3)x Rp. 180.000.000 =Rp.127.500.000,-
Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung. Maka hasilnya adalah: Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan ‘aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi:
Suami : 3/7xRp. 42.000.000 = Rp.18.000.000,-
Dua saudara perempuan sekandung : 4/7xRp. 42.000.000 = Rp.24.000.000,-

3. Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan. Maka hasilnya adalah: Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. Maka bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah:
Ibu : 1/4xRp. 120.000.000,- = 30.000.000,-
Satu anak perempuan : 3/4xRp. 120.000.000,- = 90.000.000,-

F. Manfaat Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:

1.      Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah orang yang menantang hukum syariah. Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2.      Manciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.








BAB III Penutup

A. Kesimpulan
Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seseorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup.
Beberapa hal yang dijadikan sebagai dasar hukum mawaris yaitu:
a.       Al-Qur’an
b.      As-Sunnah
c.       Pendapat atau fatwa dari para ulama
Asas Kewarisan Islam ada tiga, yaitu: Asas Ijbari, Asas Individual, Asas Bilateral, dan Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam penentuan Mawaris dalam Islam yaitu adalah:
a.       Ahli Waris, yaitu Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia
b.      Syarat-syarat Mendapatkan Warisan, yaitu seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia. Ahli w aris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
c.       Sebab-sebab Menerima Harta Warisan, yaitu seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut: Nasab (keturunan), Pernikahan, dan Wala’
d.      Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan, yaitu adalah sesuatu yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan: Kekafiran, Pembunuhan, Perbudakan, Perzinahan, dan Li’an.
e.       Ketentuan Pembagian Harta Harisan, yaitu adalah Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia.



Cara Menerapkan Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan adalah dengan:
a.       Penghitungan dengan mengguunakan ashabah, yaitu istri mendapat 1/6, ibu 1/8, dan sisanya untuk anaknya.
b.      Penghitungan dengan menggunakan ‘aul, aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya.
c.       Penghitungan dengan menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya.
Manfaat Hukum Waris Islam yaitu adalah Hukum waris Islam memberikan jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Dan hal tersebut dapat menciptakan ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. Serta menciptakan keadilan dan mencegah konflik atau pertikaian antar ahli waris.
B. Saran
Hukum mempelajari ilmu mawaris adalah Wajib(fardhu kifayah), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai seorang muslim yang taat kepada ALLAH SWT. Mempelajari atau mendalami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang bermanfaat, salah satunya adalah mengenai mawaris. Agar kita dapat menjadi termasuk golongan manusia yang selamat, baik di dunia maupun di akhirat.